Senin, 18 Januari 2010

Meninjau Kembali Istilah “Agama”

Agama adalah istilah yang begitu dekat dengan kehidupan kita. Istilah agama bahkan menjadi bagian terpenting dari identitas seseorang. Dalam perbincangan mengenai negara dan peradaban, agama sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang terbelakang dan bersifat menghambat. Pemahaman seperti ini didasarkan pada pandangan sekularisme yang memosisikan agama pada tempat yang sempit dan tak layak.

Para penganjur sekularisme – entah mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang Sekularis maupun pengaku Muslim yang moderat – sepakat untuk memisahkan urusan negara dan kehiduapan dari agama (fashl `d-dien ‘an `l-hayah). Bagi mereka, agama adalah seperti yang dikatakan oleh para Sosiolog; salah satu unsur kebudayaan. Bahkan lebih parah lagi, unsur tersebut dianggap sebagai hasil cipta-karsa-karya nenek moyang yang perlu ditinggalkan jika menghambat kemajuan. Padahal para Sosiolog sendiri tidak mempunyai definisi yang mumpuni untuk menjelaskan konsep Agama[1]. Bisa kita katakan, mereka bersepakat akan tidak adanya kesepakatan tentang konsep Agama.

Makna Al-Dien

Dalam Kamus Al-Munjid, Ad-Dien (Jama`: Adyan) diterjemahkan menjadi: (1) Al-Jaza wa `l-Mukafaah; (2) Al-Qadha; (3) Al-Malik/al-Mulk wa `s-Sulthan; (4) At-Tadbir; (5) Al-Hisab. Moenawar Chalil dalam bukunya Definsi dan Sendi Agama mengatakan:

Kata ‘dien’ itu mashdar dari kata kerja ‘daana - ‘yadienu’. Menurut lughat, kata ‘dien’ itu mempunyai arti bermacam-macam, antara lain berarti: 1) Cara atau adat kebiasaan. 2) Peraturan. 3) Undang-undang. 4) Tha`at atau patuh. 5) Menunggalkan ketuhanan. 6) Pembalasan. 7) Perhitungan. 8) Hari Qiyamat. 9) Nasehat. 10) Agama. [Definisi dan Sendi Agama : 13]


Menurut kitab Qamus al-Muhieth (karya Fairuzzabad) diterangkan, bahwa ‘dien’ itu mempunyai arti bermacam-macam, antara lain juga berarti: kemenangan, perjalanan, paksaan dan peribadatan. Menurut Al-Attas, pengertian primer dari terma dien dapat disarikan menjadi empat konsepsi utama: keberhutangan (indebtedness), penyerahan diri (submissiveness), kekuatan hukum (judicious power), dan kecenderungan atau tendensi alamiah.[2] [ISLAMIA Tahun I, No.3 : 52] Secara sederhana, kata dien memiliki akar kata yang sama dengan kata madinah dan tamaddun. Jika kita medan makna dari kata al-dien, tentu kita akan memahami pula makna al-madinah yang memiliki definisi “ismun makan al-dien” (nama dari tempat –diberlakukannya dien). Sedangkan tamaddun yang merupakan sinonim dari hadlarah (kebudayaan/ peradaban) juga merujuk pada al-dien.

Dien, Religion, dan Agama

Menurut Endang Saifudin Anshari, arti teknis kata Dien (Arab), Religion (Inggris), Religie (Belanda), Agama (Indonesia) adalah sama. Beliau juga mengutip pendapat Imam Al-Jurjani yang mengatakan bahwa Al-Dien, Al-Millah, dan al-Mazhab adalah sama dalam materi (entitas yang sama). Menurut Al-Jurjani dalam Kitab At-Ta`rifat perbedaan ketiga kata tersebut terletak pada penisbatannya saja. Al-Dien dinisbatkan kepada Allah, Al-Millah dinisbatkan kepada Nabi, dan Al-Mazhab dinisbatkan kepada Mujtahid. [Anshari: 121] Perdapat Al-Jurjani ini disetujui dan diambil oleh Maulama Muhammad Ali pengarang The Religion of Islam[3].

Religion (Inggris) dan Religie (Belanda) berasal dari kata Latin: relegere (to treat carefully), relegare (to bind together), religare (to recover). Sedangkan definisi itu berkembang ditangan para Filsuf, Sosiolog, Psikolog dll. Mereka semua tidak memiliki kata sepakat atau menemukan rumusan yang tepat untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Religion atau Religie.


Istilah bahasa Arab yang tepat untuk kata religion sebagaimana dipahami dan dipraktikan di Barat dan di timur menurut Naquib Al-Attas adalah ­millah dan bukan dien. Pengertian dien dalam bahasa Arab kaya akan pengertian, dimana tidak dapat dibatasi dengan istilah religion/ agama saja. Sedangkan kesimpulan Endang Saifudin Anshari tentang Dien = Religion = Agama lahir karena kekritik beliau terhadap orang yang berusaha memisahkan dan memilih satu istilah untuk satu kebudayaan/ peradaban saja. Anshari menolak orang yang menyatakan bahwa “islam tidak bisa disebut sebagai agama atau religion, demikian juga sebutan ‘dien’ hanya diperutukan bagi Islam saja”. Argumentasi beliau didasarkan bahwa agama selain Islam pun disebut sebagai dien oleh Al-Qur`an. Hal ini sudah maklum bagi orang yang membaca ayat-ayat Al-Qur`an tentang dien.


Menurut Endang Saifudin Anshari, yang membedakan penyebutan bahwa yang dimaksud dien itu adalah Islam atau bukan adalah kata yang menyertainya. Misalnya, Dien `l-Haqq, Dienu `l-Qayyim dan Dienu `lLah. Beliau juga menyanggah orang yang berpendapat bahwa artikel “al” pada kata “dien” (isim ma`rifah) menunjukkan kepada Islam dengan alasan bahwa hanya ada satu disisi Allah (Surah 3:3). Beliau berdalil dengan surah as-Shaff ayat 9, bahwa kata “`ala `d-dieni kullihi) merujuk kepada dien ghoyral Islam.[M.RIDHO]

Maroji`

Endang Saefuddin Anshari

Sidi Gazalba

Muhammad Naquib Al-Attas.



[1] Dunia keilmuan Islam memiliki dua jenis pendefinisian terhadap sesuatu; hadd dan rasm. Sedang sebaik-baik definisi adalah yang memuat pernyataan jami’ dan mani’.

[2] Untuk lebih lengkap lagi, silahkan merujuk pada Buku Al-Attas, Islam and Secularisme.

[3] Maulana Muhammad Ali adalah seorang penganut Ahmadiyah-Lahore. Buku beliau yang berjudul The Religion of Islam: A Comprehensive Discussion of its sources, Principles and Practicea diterjamahkan dalam bahasa Belanda, Arab dan mungkin juga Indonesia. Lihat, Anshari: 118

1 komentar: