Sebelum kita meneruskan uraian ini, kita tentu harus mengetahui terlebih dahu-lu bahwa Hurgronje bukanlah seorang Is-lam dan dia mengambil Islam itu sebagai profesinya tentu-lah didorong oleh tujuan tertentu. Oleh karena itu, sebagai orang di luar Islam, tentu saja cara dia menilai atau menggambarkan masalah-masalah yang timbul dalam Islam itu tidak akan terlepas dari subjektivitas pribadi, bagaimana pun dia berusaha untuk bersikap objektif. Na-mun demikian kita harus bersikap terbuka, sejauh kritik yang diajukannya itu bersifat konstriktif.
Penelitian dan kritik terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta nampak-nya tidak banyak menarik perhatian Hur-gronje. Tetapi diskusi dan pandangannya terhadap pribadi Nabi Muhammad seba-gai penerima wahyu dan Quran ialah hal-hal yang paling banyak mendapat sorotan-nya. Begitu pun studi mengenai bahasa Arab dan orang Islam serta cara hidup me-reka mendapat prioritas utama dalam pan-dangan Hurgronje. Dia sendiri mengakui terus terang bahwa mempelajari bahasa Arab dan kehidupan spiritual orang Islam merupakan satu cabang dari pengetahauan sejarah kema-nusiaan yang paling penting. Misalnya dia mengatakan:
L’etude de langue arabe et de la vie spirituelle don’t elle est devenue l’organe, est une branche tres importante de lascience de l’histoire humaine (L’Arabie et les Indes Neerlandaises. P 3)
Dilihat kembali kepada pandangan ori- entalis terdahulu terhadap Nabi Muham mad nampaknya Hurgronje tidaklah dapat dikatakan bertambah maju. Kalau orien-talis zaman pertengahan menganggap Na-bi Muhammad itu bukanlah seorang Nabi yang sesungguhnya telah menerima wah-yu, maka Hurgronje masih mempertahan teori itu pada abad ke-20 ini. Nampaknya dia tetap meragukan kerasulan Muham-mad, menolak sehatnya pribadi beliau se-bagai penerima wahyu dan memperta-nyakan tentang ketulusan dan kejujuran hati beliau untuk menyebarkan ajaran Is-lam. Muhammad yang datang dibelakang disbanding nabi-nabi yang lainnya, me-nurut dia hanya mencontoh dan meniru saja akan ajaran-ajaran agama terdahulu. Antara lain dia mengatakan:
There was no other way for the unlettered Prophet, whose belief in his mission was unshaken to overcome the difficulties entailed by his closer acqu-aintance with the tenest of other religions (Mohammadenaism, p. 42)
Menurut Hurgronje, tidak ada cara lain yang telah ditempuh oleh Nabi yang buta huruf (Muhammad) yang mempunyai ke-yakinan tak tergoyahkan terhdap missinya itu untuk mengatasikesulitan yang dihada-pinya kecuali dengan mengaitkan ajaran-ajarannya itu dengan ajaran agama lain-nya. Menurut Hurgronje setelah meneliti secara ilmiah, mempelajari beberapa ba-hagian penting dari kehidupan pribadi Nabi, “...sebenarnya seruan Muhammad itu atas kerasulannya didorong oleh perasaan tidak puas semasa remajanya ditambah dengan kepercayaan pada diri sendiri yang kuat serta dorongan spiritual yang tinggi ter-hadap lingkungannya. Motivasi sesung-guhnya dari seruan itu adalah pengaruh a-jaran agama Yahudi dan Kristen (terhadap dirinya)...” (Mohamadenism, p 43)
Setelah berkecimpung dalam soal-soal Islam selama puluhan tahun, kelihatannya Hurgronje masih tetap mendukung penda-pat dan jalan pikiran orang-orang terdahulu dari padanya. Bahkan tuduhan palsu yang ditujukan oleh orang kafir Qurasyi terhadap pribadi Nabi selama ribuan tahun sebelum-nya masih tetap disokongnya. Perhatikan-lah kata-katanya di bawah ini:
But as soon as we try to give a positive name to this negative quality then we do the same at the heathens of Mecca, who were violently awakened by this thundering prophecies. He is nothing but one posses-sed a poet, a soothsayer, a sorcerer, they said whether we say with the European biographers “impostor” or with the modern ones put “ epileptic, or “hysteric”, in its place”, makes little difference. (Mohamadenism, p 43)
Bagi dia, apa pun cacian yang dilem-parkan oleh orang kafir Mekkah terhadap Muhammad seperti penyair, tukang tenung dan sebagainya, atau pembohong, epilep-si dan hysteria sebagai yang dituduhkan orientalis terdahulu, semuanya itu adalah wajar dan dapat diterima. Pendeknya bagi dia, Muhammad tidak dapat diakui seba-gai Nabi yang sesungguhnya. Menurut lo-gika Hurgronje, karena Nabi Muhammad datang setelah Nabi Musa dan Isa maka dia haruslah membawa dan menyebarkan kembali ajaran-ajaran mereka. Islam tidak ada artinya kecuali dengan ajaran-ajaran Kristen dan Yahudi. Katanya:
Yet, the influence of Christianity upon Mohammed’s vocation was very great, without the Christian idea of the final scene of human history of the Re-ssurection of the Dead and the Last Judgment, Mohammad’s mission have no meaning... (Mohamadenism, p 33)
Di antara idea dan ajaran Kristen yang diambil oleh Nabi Muhammad, menurut Hurgronje adalah mengenai kebangkitan setalah mati serta pembalasan di hari yang akhir. Tanpa kedua hal ini, katanya, ajaran Islam tidak ada artinya. Jadi, me-nurut Hurgronje, kalau Muhammad ingin sukses dengan seruan kenabiannya, ma-ka ia harus menjadi missionary Kristen a-tau Yahudi (...he might have become a mi-ssionary of Yudaism or of Cristianity to the Meccans) (Mohamadenism, p 34-35)
Kalau kita lihat statement Hurgronje di atas, maka kita kan berkesimpulan bahwa ternyata Hurgronje kurang adil dalam me-nilai masalah. Seperti katanya, Islam tidak ada artinya kalau tidak mengambil ajaran-ajaran Kristen mengenai hari kebangkitan dan hari pembalasan. Sebagaimana kita kenal dalam Islam bahwa beriman kepada keesaan Allah yang Maha Agung adalah merupakan tiang utama dan urat tunggang dari kepercayaan seorang Muslim sedang-kan lima rukun iman lainnya haruslah ber-sumber dan berhubungan erat dengan yang pertama. Percaya kepada keesaan Allah tanpa embel-embel adalah masalah utama yang dapat perhatian dalam theo-logy Islam. Persoalan keesaan Allah itu kurang mendapat perhatian yang sewa-jarnya dalam alam pikiran Hurgronje, ka-lau tidak akan dikatakan tidak mendapat tempat sama sekali. Yang menjadi soro-tan Hurgronje adalah pribadi Nabi Muham-mad dan sincerity-nya beliau dalam me-nyebarkan agamanya. Menurut pendapat kita, Hurgronje terlalu yakin akan kebe-naran agama yang dianutnya, sehingga masalah yang paling prinsipil, yaitu me-ngenai ke Esaan Tuhan tidak lagi diusik-usiknya. Alasan apa yang sebenarnya me-nahan Hurgronje untuk mendiskusikan ke-esaan Allah yang diajarkan oleh Muham-mad masih merupakan tanda tanya yang belum dapat kita jawab pada kesempatan ini.Coba kita lihat pula uraian Hurgronje berikut mengenai wahyu (revelation) yang diterima oleh Nabi Muhammad:
At length he saw and heard that which he thought he ought to hear and see. In feverish dreams he found the form for the revelation, and he did not in the least realize that the contents of his inspiration from heaven were nothing but the result of what him self absorbed. He realized it so little, that the identity of what was revealed to him with what he held to be the contents of the scriptures of Jews and Christians was a miracle to him, the only miracle upan which he relied for the support of his mission. (Mohamadenism, p 36)
Di sini Hurgronje tetap mempertahan-kan pendiriannya bahwa wahyu yang di-terima oleh Nabi Muhammad dari Tuhan, sebenarnya bukanlah wahyu, tetapi angan-angan saja. Sedangkan yang dianggapnya mukzizat, demikian Hurgronje, tidak lain dari kumpulan apa yang dinamaknnya wahyu yang berasal dari ajaran Kristen dan Yahudi. Kalau kita lihat sesungguhnya argumentasi Hurgronje di atas kurang da-pat dipahami secara baik apalagi oleh o-rang-orang terpelajar. Bagaimana mungkin seseorang yang menderita hysteria dan e-pilepsy akan menerima wahyu dari Tuhan, padahal seseorang yang akan diangkat menjadi Nabi dan Rasul itu adalah orang-orang yang dipilih oleh Tuhan, tidak bercacat baik jasmani maupun rohaninya. Jangankan untuk menjadi Nabi dan Rasul, saya kira, kalau Hur-gronje ditanya apakah dia mau megikuti atau tunduk kepada orang yang berpenyakit hysteria atau epilepsy, apakah itu lurah, camat atau bupati, sudah dapat di-perkirakan bahwa dia akan mengajukan protes keras, sebagai pertanda tidak setuju. Dan kalau seruan Mu-hammad itu kepada umat manusia untuk mengikuti ajaran yang dibawanya hanyalah berupa angan-angan saja, bagaimana mungkin ia akam mampu mere-produksi seluruh ayat al Qur’an dengan sebaik-baik-nya, dan semuanya itu tetap melekat dan berada da-lam ingatannya selama hidupnya. Kalau apa yang diu-capkannya itu hanyalah khayalan saja tentu agak se-kali dalam hidupnya dia akan tersalah dan keseleo menyebutkan urut-urut ayat beserta peristiwa-peristiwa yang mengiringinya. Kiranya dia pembohong bagai-mana pula dia akan mampu mempertahankan kebo-hongannya itu terus menerus tanpa mengalami berma-cam-macam komplikasi jiwa yang mengganggu kete-nangan hidupnya seperti tingkah laku sadis dan meru-gikan orang lain. Sebab untuk mempertahankan kebo-hongan itu orang harus melakukan segala macam cara, kalau perlu mengadakan intimidasi, terror atau membunuh orang lain yang mungkin akan membuka-kan tabir kebohongannya. Setahu saya di dalam kehi-dupannya yang berjalan sampai enam puluh tahun itu, tidak ada peristiwa di atas yang pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad. Apalagi kalau kita lihat pada karak-ter ajaran Islam itu sendiri. Kebebasan berfikir dan mempertanyakan masalah-masalah keislaman tidak pernah tertutup dalam ajaran ini, bagaimana mungkin Muhammad dan para sahabatnya akan mampu mem-pertahankan dengan kata lain bahwa pokok-pokok aja-ran agama dan prakteknya hanya menjadi milik ahli agama, sedangkan orang biasa hanya boleh atau ha-rus mengikuti saja sebagaimana yang diajarkan oleh pemimpin mereka. Agama Islam bukanlah agama un-tuk orang-orang besar atau pun orang-orang terhormat saja tetapi dia juga agama dari orang-orang yang lemah dan rakyat biasa.Semua mereka berkewajiban mempelajari dan mendalami masalah-masalah yang bersangkutan dengan agama. Berdasarkan jawaban kita ini, maka dengan rasa berat terpaksa kita mengatakan bahwa argumentasi dan pendapat Hurgronje yang menyatakan Nabi Muhammad itu seorang pembohong, berpenyakit dan sebagainya, ialah pendapat lemah.
*Di kutip dari Lembar Khazanah Komunitas NuuN, lembaran berkala yang menghadirkan kembali karya para ahli terdahulu.
Tulisan tentang Hurgronje ini merupakan buah pikir Murni Djamal yang diterbitkan dalam Majalah Panji Masyarakat edisi 217 (15 Februari 1977)