Sabtu, 09 Januari 2010

Menilik: Kelangkaan Sumber Daya Sebagai Persoalan Utama Ekonomi

Pada masa-masa Pemilu 2009 sekarang, ekonomi menjadi tema sentral dalam jargon-jargon kampanye. Berbeda dengan Pemilu 2004 yang lebih banyak berkisar tentang kharisma individu calon presiden (capres) dengan bernyanyi-nyanyi.

Capres SBY-Boediono mengusung ekonomi berkeadilan, Capres Mega-Pro mengangkat ekonomi kerakyatan, dan Capres JK-Win menamakan dengan ekonomi pro-rakyat. Mana yang baik?

Ketiga jargon tersebut yang diusung oleh para capres tampak sama saja dan saru, karena tidak ada yang mengaku menamakan dirinya sebagai ekonomi liberal ataupun ekonomi sosialis. Sehingga sering kita lihat dalam diskusi-diskusi di televisi, perdebatan yang tak pernah berujung antara ketiga kebijakan ekonomi yang diusung para capres.

Memang pada prakteknya kedua mazhab ekonomi itu – ekonomi liberal ala Adam Smith ataupun ekonomi sosialis ala Karl Marx – tidak ada yang benar-benar secara murni diamalkan oleh negara-negara di dunia. Telah terjadi pinjam-meminjami instrumen ekonomi.

Namun, baik ekonomi liberal ataupun ekonomi sosialis mendasarkan dirinya pada konsep kelangkaan sumber daya. Definisi dari ilmu ekonomi itu sendiri adalah penyelidikan tentang bagaimana masyarakat mengatur kelangkaan sumber daya (resources) (Mankiw, 2006). Jika ekonomi liberal membebaskan setiap individu dan perusahaan (yang disamakan dengan individu) mengelola dan memiliki sumber daya, sebaliknya ekonomi sosialis menyerahkan pengaturan sumber daya kepada negara.

Dari kelangkaan sumber daya ini, para ekonom meninjau bagaimana masyarakat mengambil keputusan mengenai berapa banyak mereka bekerja, apa yang mereka beli, berapa banyak yang mereka tabung, dan berapa yang akan mereka investasikan. Dalam pendekatan ini, manusia adalah orang yang selalu ketakutan akan makan dan pakaian pada esok hari. Segala aktivitas manusia hanya ditujukan pada berebut-rebut kelangkaan sumber daya.

Pandangan bahwa sumber daya adalah langka, sungguh tidak dapat diterima oleh keyakinan Islam. Karena Tuhan, yang menciptakan manusia dan seluruh alam, telah menjamin rezeki kepada tiap-tiap mahluk ciptaan-Nya. Dalam banyak ayat Allah berfirman a.l.:

”Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Q.S. Al-Furqon: 2)

”Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah"” (Qs. Saba’: 24)

”Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah” (Qs. Al-Nisa’: 40)

Ketika manusia meyakini bahwa dirinya ada yang menjamin tentang masalah rezeki, usaha-usaha dalam dirinya dapat diberikan pada tempat yang lebih mulia. Mencari makan bukan untuk memenuhi perut yang lapar an sich, namun mencari makan untuk dapat menegakkan punggungnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Menjalankan bisnis bukan untuk menumpuk kekayaan guna mengikuti gaya hidup, melainkan mengumpulkan kekayaan untuk dapat memberikan bantuan sosial.

Kelangkaan sumber daya juga dapat dilihat sebagai hasil dari kebutuhan yang timbul dari keserakahan manusia yang tidak pernah puas atas segala sumber daya yang telah didapat. Maka persoalannya bukan pada sumber daya yang telah disediakan oleh Tuhan secara tepat menurut kadarnya melainkan ketamakan yang telah menguasai pikiran dan tindakan manusia.

Dari pemenuhan kebutuhan yang tidak akan pernah terpuaskan, lahir bentuk-bentuk alat pemenuhan kebutuhan yang berlapis-lapis dengan ragam istilah, primer, sekunder, tersier, lux, VIP, dan VVIP. Kehidupan tersebut mengandaikan bahwa manusia paling mulia adalah orang yang dapat memiliki alat pemenuhan teratas.

Apakah benar itu yang dibutuhkan manusia? Atau itu hanya keserakahan manusia?

Menurut Siddiqi (1991), kebutuhan-kebutuhan yang sempurna menurut Islam dapat diringkas sebagai berikut:

  1. Memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana
  2. Memenuhi kebutuhan keluarga
  3. Memenuhi kebutuhan jangka panjang
  4. Menyediakan bekal untuk kebutuhan keluarga yang ditinggalkan
  5. Memberikan bantuan sosial dan sumbangan kepada jalan Allah.

Tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan tersebut bukan hanya diperbolehkan dalam Islam, bahkan dianjurkan, sebagian dapat menjadi wajib pada kondisi dan situasi tertentu

Setiap orang yang secara berlebih-lebihan menggunakan sumber daya, dia telah mengambil hak manusia lain untuk menggunakan sumber daya yang dibutuhkan.

”Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (kikir) pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Qs. Al-Israa’: 29)

”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Qs. Al-Nisa’: 79)

Oleh itu, pembahasan bentuk sistem dan instrumen ekonomi yang benar dalam Islam, perlu untuk memperhatikan tujuan dan pandangan hidup yang benar dalam Islam. Karena amal perbuatan yang benar secara syariat jika tidak dilakukan dengan semangat dan tujuan yang benar tidak dapat dikatakan benar menurut Allah swt.

Pada setiap bangunan yang megah, sesungguhnya terdapat pondasi yang kokoh sebagai tempat berpijaknya. Ekonomi sebagai satu aspek dari banyak aspek dalam bangunan peradaban Islam, dalam pengembangannya memerlukan pondasi yang kokoh yakni pandangan hidup Islam yang lahir dari Iman dan Ilmu yang bersandarkan pada wahyu. Dengan pandangan hidup Islam juga muslimin seharusnya memilih calon presiden. [Reza Baizuri]



Senarai Pustaka:
Mankiw, G. (2006). Principles of Economics 4th ed. Ohio: South-Western College Pub.
Siddiqi, M.N. (1991). Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar