Senin, 18 Januari 2010

POKOK-POKOK PIKIRAN HURGRONJE TENTANG ISLAM

Hurgronje ialah seorang ahli ilmu pe-ngetahuan bangsa Belanda yang paling berpengaruh, dan satu dari sekian banyak para oreintalis yang benar-benar men-dalami ajaran Islam dengan sebaik-baik-nya. Maka tidaklah mungkin akan meng-gambarkan sarjana itu se-bagaimana mes-tinya dalam bentuk uraian yang terbatas dan sederhana ini, karena usaha itu akan merupakan kerja sepotong-sepotong. Oleh karena itu, sesuai dengan subjudul di atas maka penulis hanya akan menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan pokok-pokok pikirannya saja.

Sebelum kita meneruskan uraian ini, kita tentu harus mengetahui terlebih dahu-lu bahwa Hurgronje bukanlah seorang Is-lam dan dia mengambil Islam itu sebagai profesinya tentu-lah didorong oleh tujuan tertentu. Oleh karena itu, sebagai orang di luar Islam, tentu saja cara dia menilai atau menggambarkan masalah-masalah yang timbul dalam Islam itu tidak akan terlepas dari subjektivitas pribadi, bagaimana pun dia berusaha untuk bersikap objektif. Na-mun demikian kita harus bersikap terbuka, sejauh kritik yang diajukannya itu bersifat konstriktif.

Penelitian dan kritik terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta nampak-nya tidak banyak menarik perhatian Hur-gronje. Tetapi diskusi dan pandangannya terhadap pribadi Nabi Muhammad seba-gai penerima wahyu dan Quran ialah hal-hal yang paling banyak mendapat sorotan-nya. Begitu pun studi mengenai bahasa Arab dan orang Islam serta cara hidup me-reka mendapat prioritas utama dalam pan-dangan Hurgronje. Dia sendiri mengakui terus terang bahwa mempelajari bahasa Arab dan kehidupan spiritual orang Islam merupakan satu cabang dari pengetahauan sejarah kema-nusiaan yang paling penting. Misalnya dia mengatakan:
L’etude de langue arabe et de la vie spirituelle don’t elle est devenue l’organe, est une branche tres importante de lascience de l’histoire humaine (L’Arabie et les Indes Neerlandaises. P 3)

Dilihat kembali kepada pandangan ori- entalis terdahulu terhadap Nabi Muham mad nampaknya Hurgronje tidaklah dapat dikatakan bertambah maju. Kalau orien-talis zaman pertengahan menganggap Na-bi Muhammad itu bukanlah seorang Nabi yang sesungguhnya telah menerima wah-yu, maka Hurgronje masih mempertahan teori itu pada abad ke-20 ini. Nampaknya dia tetap meragukan kerasulan Muham-mad, menolak sehatnya pribadi beliau se-bagai penerima wahyu dan memperta-nyakan tentang ketulusan dan kejujuran hati beliau untuk menyebarkan ajaran Is-lam. Muhammad yang datang dibelakang disbanding nabi-nabi yang lainnya, me-nurut dia hanya mencontoh dan meniru saja akan ajaran-ajaran agama terdahulu. Antara lain dia mengatakan:
There was no other way for the unlettered Prophet, whose belief in his mission was unshaken to overcome the difficulties entailed by his closer acqu-aintance with the tenest of other religions (Mohammadenaism, p. 42)

Menurut Hurgronje, tidak ada cara lain yang telah ditempuh oleh Nabi yang buta huruf (Muhammad) yang mempunyai ke-yakinan tak tergoyahkan terhdap missinya itu untuk mengatasikesulitan yang dihada-pinya kecuali dengan mengaitkan ajaran-ajarannya itu dengan ajaran agama lain-nya. Menurut Hurgronje setelah meneliti secara ilmiah, mempelajari beberapa ba-hagian penting dari kehidupan pribadi Nabi, “...sebenarnya seruan Muhammad itu atas kerasulannya didorong oleh perasaan tidak puas semasa remajanya ditambah dengan kepercayaan pada diri sendiri yang kuat serta dorongan spiritual yang tinggi ter-hadap lingkungannya. Motivasi sesung-guhnya dari seruan itu adalah pengaruh a-jaran agama Yahudi dan Kristen (terhadap dirinya)...” (Mohamadenism, p 43)

Setelah berkecimpung dalam soal-soal Islam selama puluhan tahun, kelihatannya Hurgronje masih tetap mendukung penda-pat dan jalan pikiran orang-orang terdahulu dari padanya. Bahkan tuduhan palsu yang ditujukan oleh orang kafir Qurasyi terhadap pribadi Nabi selama ribuan tahun sebelum-nya masih tetap disokongnya. Perhatikan-lah kata-katanya di bawah ini:
But as soon as we try to give a positive name to this negative quality then we do the same at the heathens of Mecca, who were violently awakened by this thundering prophecies. He is nothing but one posses-sed a poet, a soothsayer, a sorcerer, they said whether we say with the European biographers “impostor” or with the modern ones put “ epileptic, or “hysteric”, in its place”, makes little difference. (Mohamadenism, p 43)

Bagi dia, apa pun cacian yang dilem-parkan oleh orang kafir Mekkah terhadap Muhammad seperti penyair, tukang tenung dan sebagainya, atau pembohong, epilep-si dan hysteria sebagai yang dituduhkan orientalis terdahulu, semuanya itu adalah wajar dan dapat diterima. Pendeknya bagi dia, Muhammad tidak dapat diakui seba-gai Nabi yang sesungguhnya. Menurut lo-gika Hurgronje, karena Nabi Muhammad datang setelah Nabi Musa dan Isa maka dia haruslah membawa dan menyebarkan kembali ajaran-ajaran mereka. Islam tidak ada artinya kecuali dengan ajaran-ajaran Kristen dan Yahudi. Katanya:
Yet, the influence of Christianity upon Mohammed’s vocation was very great, without the Christian idea of the final scene of human history of the Re-ssurection of the Dead and the Last Judgment, Mohammad’s mission have no meaning... (Mohamadenism, p 33)

Di antara idea dan ajaran Kristen yang diambil oleh Nabi Muhammad, menurut Hurgronje adalah mengenai kebangkitan setalah mati serta pembalasan di hari yang akhir. Tanpa kedua hal ini, katanya, ajaran Islam tidak ada artinya. Jadi, me-nurut Hurgronje, kalau Muhammad ingin sukses dengan seruan kenabiannya, ma-ka ia harus menjadi missionary Kristen a-tau Yahudi (...he might have become a mi-ssionary of Yudaism or of Cristianity to the Meccans) (Mohamadenism, p 34-35)

Kalau kita lihat statement Hurgronje di atas, maka kita kan berkesimpulan bahwa ternyata Hurgronje kurang adil dalam me-nilai masalah. Seperti katanya, Islam tidak ada artinya kalau tidak mengambil ajaran-ajaran Kristen mengenai hari kebangkitan dan hari pembalasan. Sebagaimana kita kenal dalam Islam bahwa beriman kepada keesaan Allah yang Maha Agung adalah merupakan tiang utama dan urat tunggang dari kepercayaan seorang Muslim sedang-kan lima rukun iman lainnya haruslah ber-sumber dan berhubungan erat dengan yang pertama. Percaya kepada keesaan Allah tanpa embel-embel adalah masalah utama yang dapat perhatian dalam theo-logy Islam. Persoalan keesaan Allah itu kurang mendapat perhatian yang sewa-jarnya dalam alam pikiran Hurgronje, ka-lau tidak akan dikatakan tidak mendapat tempat sama sekali. Yang menjadi soro-tan Hurgronje adalah pribadi Nabi Muham-mad dan sincerity-nya beliau dalam me-nyebarkan agamanya. Menurut pendapat kita, Hurgronje terlalu yakin akan kebe-naran agama yang dianutnya, sehingga masalah yang paling prinsipil, yaitu me-ngenai ke Esaan Tuhan tidak lagi diusik-usiknya. Alasan apa yang sebenarnya me-nahan Hurgronje untuk mendiskusikan ke-esaan Allah yang diajarkan oleh Muham-mad masih merupakan tanda tanya yang belum dapat kita jawab pada kesempatan ini.Coba kita lihat pula uraian Hurgronje berikut mengenai wahyu (revelation) yang diterima oleh Nabi Muhammad:
At length he saw and heard that which he thought he ought to hear and see. In feverish dreams he found the form for the revelation, and he did not in the least realize that the contents of his inspiration from heaven were nothing but the result of what him self absorbed. He realized it so little, that the identity of what was revealed to him with what he held to be the contents of the scriptures of Jews and Christians was a miracle to him, the only miracle upan which he relied for the support of his mission. (Mohamadenism, p 36)

Di sini Hurgronje tetap mempertahan-kan pendiriannya bahwa wahyu yang di-terima oleh Nabi Muhammad dari Tuhan, sebenarnya bukanlah wahyu, tetapi angan-angan saja. Sedangkan yang dianggapnya mukzizat, demikian Hurgronje, tidak lain dari kumpulan apa yang dinamaknnya wahyu yang berasal dari ajaran Kristen dan Yahudi. Kalau kita lihat sesungguhnya argumentasi Hurgronje di atas kurang da-pat dipahami secara baik apalagi oleh o-rang-orang terpelajar. Bagaimana mungkin seseorang yang menderita hysteria dan e-pilepsy akan menerima wahyu dari Tuhan, padahal seseorang yang akan diangkat menjadi Nabi dan Rasul itu adalah orang-orang yang dipilih oleh Tuhan, tidak bercacat baik jasmani maupun rohaninya. Jangankan untuk menjadi Nabi dan Rasul, saya kira, kalau Hur-gronje ditanya apakah dia mau megikuti atau tunduk kepada orang yang berpenyakit hysteria atau epilepsy, apakah itu lurah, camat atau bupati, sudah dapat di-perkirakan bahwa dia akan mengajukan protes keras, sebagai pertanda tidak setuju. Dan kalau seruan Mu-hammad itu kepada umat manusia untuk mengikuti ajaran yang dibawanya hanyalah berupa angan-angan saja, bagaimana mungkin ia akam mampu mere-produksi seluruh ayat al Qur’an dengan sebaik-baik-nya, dan semuanya itu tetap melekat dan berada da-lam ingatannya selama hidupnya. Kalau apa yang diu-capkannya itu hanyalah khayalan saja tentu agak se-kali dalam hidupnya dia akan tersalah dan keseleo menyebutkan urut-urut ayat beserta peristiwa-peristiwa yang mengiringinya. Kiranya dia pembohong bagai-mana pula dia akan mampu mempertahankan kebo-hongannya itu terus menerus tanpa mengalami berma-cam-macam komplikasi jiwa yang mengganggu kete-nangan hidupnya seperti tingkah laku sadis dan meru-gikan orang lain. Sebab untuk mempertahankan kebo-hongan itu orang harus melakukan segala macam cara, kalau perlu mengadakan intimidasi, terror atau membunuh orang lain yang mungkin akan membuka-kan tabir kebohongannya. Setahu saya di dalam kehi-dupannya yang berjalan sampai enam puluh tahun itu, tidak ada peristiwa di atas yang pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad. Apalagi kalau kita lihat pada karak-ter ajaran Islam itu sendiri. Kebebasan berfikir dan mempertanyakan masalah-masalah keislaman tidak pernah tertutup dalam ajaran ini, bagaimana mungkin Muhammad dan para sahabatnya akan mampu mem-pertahankan dengan kata lain bahwa pokok-pokok aja-ran agama dan prakteknya hanya menjadi milik ahli agama, sedangkan orang biasa hanya boleh atau ha-rus mengikuti saja sebagaimana yang diajarkan oleh pemimpin mereka. Agama Islam bukanlah agama un-tuk orang-orang besar atau pun orang-orang terhormat saja tetapi dia juga agama dari orang-orang yang lemah dan rakyat biasa.Semua mereka berkewajiban mempelajari dan mendalami masalah-masalah yang bersangkutan dengan agama. Berdasarkan jawaban kita ini, maka dengan rasa berat terpaksa kita mengatakan bahwa argumentasi dan pendapat Hurgronje yang menyatakan Nabi Muhammad itu seorang pembohong, berpenyakit dan sebagainya, ialah pendapat lemah.

*Di kutip dari Lembar Khazanah Komunitas NuuN, lembaran berkala yang menghadirkan kembali karya para ahli terdahulu.
Tulisan tentang Hurgronje ini merupakan buah pikir Murni Djamal yang diterbitkan dalam Majalah Panji Masyarakat edisi 217 (15 Februari 1977)

Meninjau Kembali Istilah “Agama”

Agama adalah istilah yang begitu dekat dengan kehidupan kita. Istilah agama bahkan menjadi bagian terpenting dari identitas seseorang. Dalam perbincangan mengenai negara dan peradaban, agama sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang terbelakang dan bersifat menghambat. Pemahaman seperti ini didasarkan pada pandangan sekularisme yang memosisikan agama pada tempat yang sempit dan tak layak.

Para penganjur sekularisme – entah mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang Sekularis maupun pengaku Muslim yang moderat – sepakat untuk memisahkan urusan negara dan kehiduapan dari agama (fashl `d-dien ‘an `l-hayah). Bagi mereka, agama adalah seperti yang dikatakan oleh para Sosiolog; salah satu unsur kebudayaan. Bahkan lebih parah lagi, unsur tersebut dianggap sebagai hasil cipta-karsa-karya nenek moyang yang perlu ditinggalkan jika menghambat kemajuan. Padahal para Sosiolog sendiri tidak mempunyai definisi yang mumpuni untuk menjelaskan konsep Agama[1]. Bisa kita katakan, mereka bersepakat akan tidak adanya kesepakatan tentang konsep Agama.

Makna Al-Dien

Dalam Kamus Al-Munjid, Ad-Dien (Jama`: Adyan) diterjemahkan menjadi: (1) Al-Jaza wa `l-Mukafaah; (2) Al-Qadha; (3) Al-Malik/al-Mulk wa `s-Sulthan; (4) At-Tadbir; (5) Al-Hisab. Moenawar Chalil dalam bukunya Definsi dan Sendi Agama mengatakan:

Kata ‘dien’ itu mashdar dari kata kerja ‘daana - ‘yadienu’. Menurut lughat, kata ‘dien’ itu mempunyai arti bermacam-macam, antara lain berarti: 1) Cara atau adat kebiasaan. 2) Peraturan. 3) Undang-undang. 4) Tha`at atau patuh. 5) Menunggalkan ketuhanan. 6) Pembalasan. 7) Perhitungan. 8) Hari Qiyamat. 9) Nasehat. 10) Agama. [Definisi dan Sendi Agama : 13]


Menurut kitab Qamus al-Muhieth (karya Fairuzzabad) diterangkan, bahwa ‘dien’ itu mempunyai arti bermacam-macam, antara lain juga berarti: kemenangan, perjalanan, paksaan dan peribadatan. Menurut Al-Attas, pengertian primer dari terma dien dapat disarikan menjadi empat konsepsi utama: keberhutangan (indebtedness), penyerahan diri (submissiveness), kekuatan hukum (judicious power), dan kecenderungan atau tendensi alamiah.[2] [ISLAMIA Tahun I, No.3 : 52] Secara sederhana, kata dien memiliki akar kata yang sama dengan kata madinah dan tamaddun. Jika kita medan makna dari kata al-dien, tentu kita akan memahami pula makna al-madinah yang memiliki definisi “ismun makan al-dien” (nama dari tempat –diberlakukannya dien). Sedangkan tamaddun yang merupakan sinonim dari hadlarah (kebudayaan/ peradaban) juga merujuk pada al-dien.

Dien, Religion, dan Agama

Menurut Endang Saifudin Anshari, arti teknis kata Dien (Arab), Religion (Inggris), Religie (Belanda), Agama (Indonesia) adalah sama. Beliau juga mengutip pendapat Imam Al-Jurjani yang mengatakan bahwa Al-Dien, Al-Millah, dan al-Mazhab adalah sama dalam materi (entitas yang sama). Menurut Al-Jurjani dalam Kitab At-Ta`rifat perbedaan ketiga kata tersebut terletak pada penisbatannya saja. Al-Dien dinisbatkan kepada Allah, Al-Millah dinisbatkan kepada Nabi, dan Al-Mazhab dinisbatkan kepada Mujtahid. [Anshari: 121] Perdapat Al-Jurjani ini disetujui dan diambil oleh Maulama Muhammad Ali pengarang The Religion of Islam[3].

Religion (Inggris) dan Religie (Belanda) berasal dari kata Latin: relegere (to treat carefully), relegare (to bind together), religare (to recover). Sedangkan definisi itu berkembang ditangan para Filsuf, Sosiolog, Psikolog dll. Mereka semua tidak memiliki kata sepakat atau menemukan rumusan yang tepat untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Religion atau Religie.


Istilah bahasa Arab yang tepat untuk kata religion sebagaimana dipahami dan dipraktikan di Barat dan di timur menurut Naquib Al-Attas adalah ­millah dan bukan dien. Pengertian dien dalam bahasa Arab kaya akan pengertian, dimana tidak dapat dibatasi dengan istilah religion/ agama saja. Sedangkan kesimpulan Endang Saifudin Anshari tentang Dien = Religion = Agama lahir karena kekritik beliau terhadap orang yang berusaha memisahkan dan memilih satu istilah untuk satu kebudayaan/ peradaban saja. Anshari menolak orang yang menyatakan bahwa “islam tidak bisa disebut sebagai agama atau religion, demikian juga sebutan ‘dien’ hanya diperutukan bagi Islam saja”. Argumentasi beliau didasarkan bahwa agama selain Islam pun disebut sebagai dien oleh Al-Qur`an. Hal ini sudah maklum bagi orang yang membaca ayat-ayat Al-Qur`an tentang dien.


Menurut Endang Saifudin Anshari, yang membedakan penyebutan bahwa yang dimaksud dien itu adalah Islam atau bukan adalah kata yang menyertainya. Misalnya, Dien `l-Haqq, Dienu `l-Qayyim dan Dienu `lLah. Beliau juga menyanggah orang yang berpendapat bahwa artikel “al” pada kata “dien” (isim ma`rifah) menunjukkan kepada Islam dengan alasan bahwa hanya ada satu disisi Allah (Surah 3:3). Beliau berdalil dengan surah as-Shaff ayat 9, bahwa kata “`ala `d-dieni kullihi) merujuk kepada dien ghoyral Islam.[M.RIDHO]

Maroji`

Endang Saefuddin Anshari

Sidi Gazalba

Muhammad Naquib Al-Attas.



[1] Dunia keilmuan Islam memiliki dua jenis pendefinisian terhadap sesuatu; hadd dan rasm. Sedang sebaik-baik definisi adalah yang memuat pernyataan jami’ dan mani’.

[2] Untuk lebih lengkap lagi, silahkan merujuk pada Buku Al-Attas, Islam and Secularisme.

[3] Maulana Muhammad Ali adalah seorang penganut Ahmadiyah-Lahore. Buku beliau yang berjudul The Religion of Islam: A Comprehensive Discussion of its sources, Principles and Practicea diterjamahkan dalam bahasa Belanda, Arab dan mungkin juga Indonesia. Lihat, Anshari: 118

Minggu, 17 Januari 2010

PERSPEKTIF HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA

Lembaga kepala negara dan pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala Negara untuk memimpin umat Islam adalah wajib menurut ijma`.

[Imam Al-Mawardi, Ahkaamus-Sulthaniyyah wal-Wilaayaatud-Diiniyyah]

Negara menurut KBBI adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Mengadakan suatu Negara atau mengangkat pemerintahan wajib hukumnya berdasarkan akal dan syariat. Meskipun manusia berbeda pendapat tentang dasar kewajiban mengangkat pemerintahan dan mengadakan suatu Negara. Mereka yang mendasarkan pada akal berpendapat bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada seseorang yang dapat menghalangi kedzaliman dan menuntaskan perselisihan serta permusuhan di antara mereka. Sementara mereka yang mendasarkan kepada syariat menegaskan bahwa pemerintah memiliki tugas-tugas agama dan didorong oleh syariat untuk menegakkannya. Boleh jadi tugas-tugas ini ditentang atau tidak didorong oleh akal -- yang seringkali absurd dalam mendefinisikan keadilan dan kebenaran. Allah SWT mewajibkan kita untuk taat kepada ulil amri kita (Lihat, an-Nisaa`: 59).

Banyak sekali dalil dalam fiqh Islam yang mengafirmasi ketaatan kita kepada ulil amri[1]. Bahkan kewajiban ini tetap berlaku meskipun ulil amri melakukan kedzaliman kepada kita. Mutlaknya ketaatan kepada pemerintah dan absolutnya kekuasaan mereka terhadap rakyat bukan berarti sistem kenegaraan dan pemerintahan kita bersifat despotik, dan tidak demokratis.

Dalam perspektif Islam kedudukan dan perilaku setiap orang senantiasa ditimbang dan terikat oleh syariat. Ketaatan terhadap ulil amri (pengusa) yang berlaku dzalim bukan berarti menerima kedzalimannya. Sebelum itu, jika kita mengangkat seseorang sementara ada orang selain dia yang Allah lebih ridho kepadanya, kita dianggap telah mengkhianati Allah, Rasul dan Kaum Muslimin[2]. Bahkan pada keadaan tertentu kita wajib mengganti atau memerangi penguasa. Semuanya memiliki timbangan yang jelas dalam kaidah-kaidah ilmu fiqh. Ketaatan kepada ulil amri merupakan bentuk ibadah kita kepada Allah SWT. Sebab ketaatan adalah bagian dari agama (al-diin) dan ibadah. Bahkan persoalan ketaatan ini termasuk dalam perkara, yang oleh para Ulama masa kini (mu`ashir) disebut dengan tawhid al-hakimiyyah (salahsatu cabang tawhid uluhiyyah- ubudiyyah).

Negara dan Agama

Hubungan antara agama dan negara seringkali menimbulkan pro-kontra. Kalangan Islamis tentunya akan selalu mendasarkan setiap persoalan -termasuk negara pada- pijakan agama. Sementara kalangan Sekularis walau bagaimanapun tidak bisa membuang agama dalam kehidupannya. Bahkan, betapa pun sempitnya ruang untuk agama yang diberikan oleh kalangan Sekularis, undang-undang (wadl`iyyah) tetap membutuhkan agama dan ketuhanan untuk mengambil kesaksian atau sumpah jabatan kepala negaranya. Hal ini menunjukan bahwa manusia tidak bisa meninggalkan ghorizah tadayun (hasrat glorifikasi) terhadap Tuhan dan agama.

Dalam perspektif Islam, posisi agama terhadap keberadaan negara adalah mabda` (dasar/ ideology) dan ma`ad (tujuan/ vision) secara sekaligus. Negara diadakan karena keimanan kepada Allah SWT dan kepatuhan kita terhadap Undang-undang-Nya. Demikian pula Negara diselenggarakan untuk mencapai mendapatkan pahala (ajr-l hasanah) dan keridhoan Allah SWT. Istilah hadith untuk keadaan ini biasa disebut ‘imanan wa-htisaban’. Sementara itu, menurut ush-l fiqh negara diadakan sebagai wasilah (sarana) atas dasar kaidah “maa layatimul wajib illa bihi fahuwal wajib”. Oleh karena itu, pengadaan dan penyelenggaraan suatu Negara menuntut 2 hal: al-ikhlas lil-Llahi ta`ala dan al-ittiba` lis-sunnatin-nabi.

Abu Hamid Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fil I`tiqad menyimpulkan bahwa lembaga agama (nidzam al-diin) tidak akan baik kecuali dengan lembaga dunia/ negara (nidzam al-dunya). Bahkan beliau menjadikan nidzamu al-dunya sebagai syarat (shartun) kepada nizdami al-diin. Betapa erat dan terkaitnya hubungan diantara agama dan negara.

Madinah: Tegaknya Agama

Ketika sampai pada diskursus “negara dalam perspektif islam” kaum muslimn terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah yang mewajibkan berdirinya Negara Islam. Sedangkan kelompok kedua menganggap tidak ada kewajiban mendirikan Negara Islam. Kedua kelompok tersebut merujuk pada Sirah Nabawiyah yang sama dan mereka semua meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah melakukan hijrah dari Mekkah ke Yastrib. Kemudian sejarah telah mencacat perubahan nama Yastrib menjadi Madinah. Pada perspekif Sirah Nabawiyah inilah perdebatan muncul.

Perdebatan yang sering muncul adalah masalah penerjemahan istilah Madinah secara kontekstual dan politis. Kelompok pertama menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai Madinah adalah sebuah ‘negara modern’ dalam pengertian kekuasaan konstitusional. Sementara kelompok kedua mengusung istilah ‘masyarakat madani’ dan mengasimilasikannya dengan konsep ‘civil society’. Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan secara rinci perdebatan tersebut. Melanjutkan pembahasan diatas tentang hubungan antara Negara dan Agama, cukuplah kita berpegang pada kesepakatan istilah ‘Madinah’ (tanpa penambahan istilah negara atau masyarakat) dan berupaya memahaminya.

Manusia telah sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya telah melakukan hijrah dari negeri tempat asal mereka. Mereka mencari sebuat tempat baru bukan untuk mencari lapangan kerja atau mengundi nasib. Bukan pulsa hijrah mereka itu karena takut atau diusir. Akan tetapi motivasi pertama dan utama mereka adalah iqamatud-diin (menegakkan agama). Dalam sebuah hadith disebutkan: “Aku bermimpi bahwasanya aku berhijrah dari Mekkah ke suatu tempat/ negeri yang banyak ditumbuhi kurma, maka dugaanku tertuju kepada Yamamah atau Hajar, ternyata negeri itu adalah Yastrib.” [R.Bukhari&Muslim]

Dalam konteks hijrah, Yastrib adalah mahjar (tempat tujuan hijrah), sedangkan tujuan hijrah mereka menuju mahjar adalah untuk iqamatud-diin. Oleh karena itu menjadi tepatlah ketetapan Nabi Muhammad SAW untuk menamakan mahjar mereka sebagai Al-Madinah. Lalu apa makna nama Madinah dan ketetapan Nabi Muhammad SAW untuk mengganti nama Yastrib dengannya?

Jika dikatakan bahwa Madinah bermakna kota, tentunya Mekkah pun adalah kota Nabi. Jika dikatakan bahwa Madinah itu negara atau masyarakat, apakah Mekkah bukan? Tentunya perkataan tersebut menjadi kurang tepat dan tidak bermanfaat karena hanya menggunakan tinjauan sosiologis-geografis. Padahal penggunaan nama/istilah Madinah bukanlah penamaan yang bersifat sosiologis atau geografis. Nama tersebut ditetapkan oleh Nabi Muhammad berdasarkan wahyu iLaahi yang artinya “ism al-makan”. Mengingat Dan tentu saja makna lengkap dari Madinah adalah nama suatu tempat diterapkan dan disempurnakannya al-diin.

Kesimpulannya, ketika agama (diin) diterapkan secara sempurna di suatu tempat atau wilayah maka tempat tersebut adalah negaranya (madinah). Mafhum mukhalafah-nya, negara adalah sebutan atau lambang dari kesempuraan penerapannya suatu agama. Jika ini persoalan mabda` dan ma`ad, agama apakah yang diterapkan oleh Madinah Indonesia? Waallahu a`lam!

Untuk lebih lengkap, silahkan baca

Imam Al-Mawardi, Ahkaamus-Sulthaniyyah wal-Wilaayaatud-Diiniyyah

Shaikh Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi, Tarikh Al-Madinah Al-Munawwarah

Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA. Menggali Identitas Politik Islam. Vol. V no.2

Syed Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin

Muchamad Ridho H.

Bogor, 12 Nopember 2009



[1] Menjadi penting untuk dipertimbangkan penjelasan Ibnul Qayyim dan selain beliau, bahwa yang dimaksud dengan Ulil AmriUmara` dan Ulama` dikalangan kaum muslimin. Tidak selalu seseorang/ pihak yang memiliki kekuasaan politik terhadap kaum muslimin disebut sebagai Ulil Amri. adalah para

[2] Dari matan hadith riwayat Al-Hakam yang dinukil oleh Mushtafa Masyhur dalam kitab Al-Qiyadah Wal-Jundiyah. Menurut beliau Imam Suyuti menshahihkannya.

Sabtu, 09 Januari 2010

Menilik: Kelangkaan Sumber Daya Sebagai Persoalan Utama Ekonomi

Pada masa-masa Pemilu 2009 sekarang, ekonomi menjadi tema sentral dalam jargon-jargon kampanye. Berbeda dengan Pemilu 2004 yang lebih banyak berkisar tentang kharisma individu calon presiden (capres) dengan bernyanyi-nyanyi.

Capres SBY-Boediono mengusung ekonomi berkeadilan, Capres Mega-Pro mengangkat ekonomi kerakyatan, dan Capres JK-Win menamakan dengan ekonomi pro-rakyat. Mana yang baik?

Ketiga jargon tersebut yang diusung oleh para capres tampak sama saja dan saru, karena tidak ada yang mengaku menamakan dirinya sebagai ekonomi liberal ataupun ekonomi sosialis. Sehingga sering kita lihat dalam diskusi-diskusi di televisi, perdebatan yang tak pernah berujung antara ketiga kebijakan ekonomi yang diusung para capres.

Memang pada prakteknya kedua mazhab ekonomi itu – ekonomi liberal ala Adam Smith ataupun ekonomi sosialis ala Karl Marx – tidak ada yang benar-benar secara murni diamalkan oleh negara-negara di dunia. Telah terjadi pinjam-meminjami instrumen ekonomi.

Namun, baik ekonomi liberal ataupun ekonomi sosialis mendasarkan dirinya pada konsep kelangkaan sumber daya. Definisi dari ilmu ekonomi itu sendiri adalah penyelidikan tentang bagaimana masyarakat mengatur kelangkaan sumber daya (resources) (Mankiw, 2006). Jika ekonomi liberal membebaskan setiap individu dan perusahaan (yang disamakan dengan individu) mengelola dan memiliki sumber daya, sebaliknya ekonomi sosialis menyerahkan pengaturan sumber daya kepada negara.

Dari kelangkaan sumber daya ini, para ekonom meninjau bagaimana masyarakat mengambil keputusan mengenai berapa banyak mereka bekerja, apa yang mereka beli, berapa banyak yang mereka tabung, dan berapa yang akan mereka investasikan. Dalam pendekatan ini, manusia adalah orang yang selalu ketakutan akan makan dan pakaian pada esok hari. Segala aktivitas manusia hanya ditujukan pada berebut-rebut kelangkaan sumber daya.

Pandangan bahwa sumber daya adalah langka, sungguh tidak dapat diterima oleh keyakinan Islam. Karena Tuhan, yang menciptakan manusia dan seluruh alam, telah menjamin rezeki kepada tiap-tiap mahluk ciptaan-Nya. Dalam banyak ayat Allah berfirman a.l.:

”Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Q.S. Al-Furqon: 2)

”Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah"” (Qs. Saba’: 24)

”Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah” (Qs. Al-Nisa’: 40)

Ketika manusia meyakini bahwa dirinya ada yang menjamin tentang masalah rezeki, usaha-usaha dalam dirinya dapat diberikan pada tempat yang lebih mulia. Mencari makan bukan untuk memenuhi perut yang lapar an sich, namun mencari makan untuk dapat menegakkan punggungnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Menjalankan bisnis bukan untuk menumpuk kekayaan guna mengikuti gaya hidup, melainkan mengumpulkan kekayaan untuk dapat memberikan bantuan sosial.

Kelangkaan sumber daya juga dapat dilihat sebagai hasil dari kebutuhan yang timbul dari keserakahan manusia yang tidak pernah puas atas segala sumber daya yang telah didapat. Maka persoalannya bukan pada sumber daya yang telah disediakan oleh Tuhan secara tepat menurut kadarnya melainkan ketamakan yang telah menguasai pikiran dan tindakan manusia.

Dari pemenuhan kebutuhan yang tidak akan pernah terpuaskan, lahir bentuk-bentuk alat pemenuhan kebutuhan yang berlapis-lapis dengan ragam istilah, primer, sekunder, tersier, lux, VIP, dan VVIP. Kehidupan tersebut mengandaikan bahwa manusia paling mulia adalah orang yang dapat memiliki alat pemenuhan teratas.

Apakah benar itu yang dibutuhkan manusia? Atau itu hanya keserakahan manusia?

Menurut Siddiqi (1991), kebutuhan-kebutuhan yang sempurna menurut Islam dapat diringkas sebagai berikut:

  1. Memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana
  2. Memenuhi kebutuhan keluarga
  3. Memenuhi kebutuhan jangka panjang
  4. Menyediakan bekal untuk kebutuhan keluarga yang ditinggalkan
  5. Memberikan bantuan sosial dan sumbangan kepada jalan Allah.

Tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan tersebut bukan hanya diperbolehkan dalam Islam, bahkan dianjurkan, sebagian dapat menjadi wajib pada kondisi dan situasi tertentu

Setiap orang yang secara berlebih-lebihan menggunakan sumber daya, dia telah mengambil hak manusia lain untuk menggunakan sumber daya yang dibutuhkan.

”Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (kikir) pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Qs. Al-Israa’: 29)

”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Qs. Al-Nisa’: 79)

Oleh itu, pembahasan bentuk sistem dan instrumen ekonomi yang benar dalam Islam, perlu untuk memperhatikan tujuan dan pandangan hidup yang benar dalam Islam. Karena amal perbuatan yang benar secara syariat jika tidak dilakukan dengan semangat dan tujuan yang benar tidak dapat dikatakan benar menurut Allah swt.

Pada setiap bangunan yang megah, sesungguhnya terdapat pondasi yang kokoh sebagai tempat berpijaknya. Ekonomi sebagai satu aspek dari banyak aspek dalam bangunan peradaban Islam, dalam pengembangannya memerlukan pondasi yang kokoh yakni pandangan hidup Islam yang lahir dari Iman dan Ilmu yang bersandarkan pada wahyu. Dengan pandangan hidup Islam juga muslimin seharusnya memilih calon presiden. [Reza Baizuri]



Senarai Pustaka:
Mankiw, G. (2006). Principles of Economics 4th ed. Ohio: South-Western College Pub.
Siddiqi, M.N. (1991). Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.